Recent post berjalan

RUMAH ADAT JAMBI

Blog Widget by LinkWithin

Asal Usul Rumah Adat Jambi

A. Kajang Lako Rumah Orang Batin (Jambi)
Identitas Rumah Adat
Orang Batin adalah salah satu suku bangsa yang ada di Provinsi Jambi. Sampai sekarang orang Batin masih mempertahankan adat istiadat yang diwariskan oleh nenek moyang mereka, bahkan peninggalan bangunan tua pun masih bisa dinikmati keindahannya dan masih dipergunakan hingga kini.

Konon kabarnya orang Batin berasal dari 60 tumbi (keluarga) yang pindah dari Koto Rayo. Ke 60 keluarga inilah yang merupakan asal mula Marga Batin V, dengan 5 dusun asal. Jadi daerah Marga Batin V itu berarti kumpulan 5 dusun yang asalnya dari satu dusun yang sama. Kelima dusun tersebut adalah Tanjung Muara Semayo, Dusun Seling, Dusun Kapuk, Dusun Pulau Aro, dan Dusun Muara Jernih. Daerah Margo Batin V kini masuk wilayah Kecamatan Tabir, dengan ibukotanya di Rantau Panjang, Kabupaten Sorolangun Bangko.

Pada awalnya orang Batin tinggal berkelompok, terdiri dari 5 kelompok asal yang membentuk 5 dusun. Salah satu perkampungan Batin yang masih utuh hingga sekarang adalah Kampung Lamo di Rantau Panjang. Rumah-rumah di sana dibangun memanjang secara terpisah, berjarak sekitar 2 m, menghadap ke jalan. Di belakang rumah dibangun lumbung tempat menyimpan padi.

Pada umumnya mata pencaharian orang Batin adalah bertani, baik di ladang maupun di sawah. Selain itu, mereka juga berkebun, mencari hasil hutan, mendulang emas, dan mencari ikan di sungai.

Bentuk Rumah

Rumah tinggal orang Batin disebut Kajang Lako atau Rumah Lamo. Bentuk bubungan Rumah Lamo seperti perahu dengan ujung bubungan bagian atas melengkung ke atas. Tipologi rumah lamo berbentuk bangsal, empat persegi panjang dengan ukuran panjang 12 m dan lebar 9 m. Bentuk empat persegi panjang tersebut dimaksudkan untuk mempermudah penyusunan ruangan yang disesuaikan dengan fungsinya, dan dipengaruhi pula oleh hukum Islam.

Sebagai suatu bangunan tempat tinggal, rumah lamo terdiri dari beberapa bagian, yaitu bubungan/atap, kasau bentuk, dinding, pintu/jendela, tiang, lantai, tebar layar, penteh, pelamban, dan tangga.

Bubungan/atap biasa juga disebut dengan 'gajah mabuk,' diambil dari nama pembuat rumah yang kala itu sedang mabuk cinta tetapi tidak mendapat restu dari orang tuanya. Bentuk bubungan disebut juga lipat kajang, atau potong jerambah. Atap dibuat dari mengkuang atau ijuk yang dianyam kemudian dilipat dua. Dari samping, atap rumah lamo kelihatan berbentuk segi tiga. Bentuk atap seperti itu dimaksudkan untuk mempermudah turunnya air bila hari hujan, mempermudah sirkulasi udara, dan menyimpan barang.

Kasau Bentuk adalah atap yang berada di ujung atas sebelah atas. Kasau bentuk berada di depan dan belakang rumah, bentuknya miring, berfungsi untuk mencegah air masuk bila hujan. Kasou bentuk dibuat sepanjang 60 cm dan selebar bubungan.

Dinding/masinding rumah lamo dibuat dari papan, sedangkan pintunya terdiri dari 3 macam. Ketiga pintu tersebut adalah pintu tegak, pintu masinding, dan pintu balik melintang. Pintu tegak berada di ujung sebelah kiri bangunan, berfungsi sebagai pintu masuk. Pintu tegak dibuat rendah sehingga setiap orang yang masuk ke rumah harus menundukkan kepala sebagai tanda hormat kepada si empunya rumah. Pintu masinding berfungsi sebagai jendela, terletak di ruang tamu. Pintu ini dapat digunakan untuk melihat ke bawah, sebagai ventilasi terutama pada waktu berlangsung upacara adat, dan untuk mempermudah orang yang ada di bawah untuk mengetahui apakah upacara adat sudah dimulai atau belum. Pintu balik melintang adalah jendela terdapat pada tiang balik melintang. Pintu itu digunakan oleh pemuka-pemuka adat, alim ulama, ninik mamak, dan cerdik pandai.

Adapun jumlah tiang rumah lamo adalah 30 terdiri dari 24 tiang utama dan 6 tiang palamban. Tiang utama dipasang dalam bentuk enam, dengan panjang masing-masing 4,25 m. Tiang utama berfungsi sebagai tiang bawah (tongkat) dan sebagai tiang kerangka bangunan.

Lantai rumah adat dusun Lamo di Rantau Panjang, Jambi, dibuat bartingkat. Tingkatan pertama disebut lantai utama, yaitu lantai yang terdapat di ruang balik melintang. Dalam upacara adat, ruangan tersebut tidak bisa ditempati oleh sembarang orang karena dikhususkan untuk pemuka adat. Lantai utama dibuat dari belahan bambu yang dianyam dengan rotan. Tingkatan selanjutnya disebut lantai biasa. Lantai biasa di ruang balik menalam, ruang tamu biasa, ruang gaho, dan pelamban.

Tebar layar, berfungsi sebagai dinding dan penutup ruang atas. Untuk menahan tempias air hujan, terdapat di ujung sebelah kiri dan kanan bagian atas bangunan. Bahan yang digunakan adalah papan.

Penteh, adalah tempat untuk menyimpan terletak di bagian atas bangunan.

Bagian rumah selanjutnya adalah pelamban, yaitu bagian rumah terdepan yang berada di ujung sebelah kiri. Pelamban merupakan bangunan tambahan/seperti teras. Menurut adat setempat, pelamban digunakan sebagai ruang tunggu bagi tamu yang belum dipersilahkan masuk.

Sebagai ruang panggung, rumah tinggal orang Batin mempunyai 2 macam tangga. Yang pertama adalah tangga utama, yaitu tangga yang terdapat di sebelah kanan pelamban. Yang kedua adalah tangga penteh, digunakan untuk naik ke penteh.

Susunan dan Fungsi Ruangan

Kajang Lako terdiri dari 8 ruangan, meliputi pelamban, ruang gaho, ruang masinding, ruang tengah, ruang balik melintang, ruang balik menalam, ruang atas/penteh, dan ruang bawah/bauman.

Yang disebut pelamban adalah bagian bangunan yang berada di sebelah kiri bangunan induk. Lantainya terbuat dari bambu belah yang telah diawetkan dan dipasang agak jarang untuk mempermudah air mengalir ke bawah.

Ruang gaho adalah ruang yang terdapat di ujung sebelah kiri bangunan dengan arah memanjang. Pada ruang gaho terdapat ruang dapur, ruang tempat air dan ruang tempat menyimpan.

Ruang masinding adalah ruang depan yang berkaitan dengan masinding. Dalam musyawarah adat, ruangan ini dipergunakan untuk tempat duduk orang biasa. Ruang ini khusus untuk kaum laki-laki.

Ruang tengah adalah ruang yang berada di tengah-tengah bangunan. Antara ruang tengah dengan ruang masinding tidak memakai dinding. Pada saat pelaksanaan upacara adat, ruang tengah ini ditempati oleh para wanita.

Ruangan lain dalam rumah tinggal orang Batin adalah ruang balik menalam atau ruang dalam. Bagian-bagian dari ruang ini adalah ruang makan, ruang tidur orang tua, dan ruang tidur anak gadis.

Selanjutnya adalah ruang balik malintang. Ruang ini berada di ujung sebelah kanan bangunan menghadap ke ruang tengah dan ruang masinding. Lantai ruangan ini dibuat lebih tinggi daripada ruangan lainnya, karena dianggap sebagai ruang utama. Ruangan ini tidak boleh ditempati oleh sembarang orang. Besarnya ruang balik melintang adalah 2x9 m, sama dengan ruang gaho.

Rumah lamo juga mempunyai ruang atas yang disebut penteh. Ruangan ini berada di atas bangunan, dipergunakan untuk menyimpan barang. Selain ruang atas, juga ada ruang bawah atau bauman. Ruang ini tidak berlantai dan tidak berdinding, dipergunakan untuk menyimpan, memasak pada waktu ada pesta, serta kegiatan lainnya.

Ragam Hias

Bangunan rumah tinggal orang Batin dihiasi dengan beberapa motif ragam hias yang berbentuk ukir-ukiran. Motif ragam hias di sana adalah flora (tumbuh-tumbuhan) dan fauna (binatang).

Motif flora yang digunakan dalam ragam hias antara lain adalah motif bungo tanjung, motif tampuk manggis, dan motif bungo jeruk.

Motif bungo tanjung diukirkan di bagian depan masinding. Motif tampuk manggis juga di depan masinding dan di atas pintu, sedang bungo jeruk di luar rasuk (belandar) dan di atas pintu. Ragam hias dengan motif flora dibuat berwarna.

Ketiga motif ragam hias tersebut dimaksudkan untuk memperindah bentuk bangunan dan sebagai gambaran bahwa di sana banyak terdapat tumbuh-tumbuhan.

Adapun motif fauna yang digunakan dalam ragam hias adalah motif ikan. Ragam hias yang berbentuk ikan sudah distilir ke dalam bentuk daun-daunan yang dilengkapi dengan bentuk sisik ikan. Motif ikan dibuat tidak berwarna dan diukirkan di bagian bendul gaho serta balik melintang.

B. Rumah Tuo
Identitas Rumah Tuo

Jambi pernah berada pada masa-masa gundah pencarian identitas diri. Bahkan, gubernur sampai harus menyelenggarakan sayembara untuk memastikan rumah adat macam apa untuk dijadikan identitas negeri "Sepucuk Jambi Sembilan Lurah" ini.

Jambi agak unik dibandingkan dengan daerah-daerah lain di Nusantara. Jika banyak rumah adat daerah lain mulai menghilang seiring dengan kemajuan zaman, masyarakat Jambi justru tengah menikmati eforia membangun rumah-rumah berarsitektur adat.

Sebenarnya, kegairahan ini sudah dimulai sejak tahun 1970-an, tatkala Pemerintah Provinsi Jambi menetapkan konsep arsitektur rumah yang menjadi ciri khas Jambi. Gambaran jelas tentang wujud rumah adat tersebut dapat kita temukan saat bertandang ke kompleks Kantor Gubernur Jambi di Telanaipura, Kota Jambi.

Tepat pada sisi kanan bangunan kantor kita akan temukan rumah adat bertiang, berwarna hitam, lengkap dengan tanduk kambing bersilang ke dalam pada ujung atapnya. Bangunan dengan arsitektur ini merupakan hasil sayembara yang dimenangi salah seorang arsitek, yang juga pejabat daerah setempat.

Dalam penelusuran Kompas di sebuah permukiman tertua di Jambi belum lama ini, diperoleh data bahwa dari sinilah sesungguhnya identitas Jambi melalui rumah adatnya terkuak. Permukiman ini berlokasi di Dusun Kampung Baru, Kelurahan Rantau Panjang, Kecamatan Tabir, Kabupaten Merangin, Jambi.

Masih terdapat 60-an rumah adat berusia sekitar 600 tahun di sana. Permukiman tertua itu dikelilingi ratusan rumah adat sejenis, tetapi usia rumah-rumah tersebut sudah jauh lebih muda. Sangat mengagumkan, betapa masyarakat setempat masih sangat menghargai warisan adat leluhurnya.

Rumah Jambi identik dengan adat Melayu Kuno. Di dalam rumah tergambar tentang hubungan manusia dalam sebuah keluarga inti, keluarga besar, dan masyarakat. Ada penghormatan terhadap nini mamak, jaminan perlindungan bagi anak-anak, hidup berkecukupan dalam keluarga, dan keharmonisan sosial dalam masyarakat. Di sini, etika hidup pun sangat dijunjung.

Rumah tertua di sana disebut Rumah Tuo milik Umar Amra (67), keturunan ke-13 dari Undup Pinang Masak. Ia adalah salah seorang bangsawan Melayu Kuno yang eksodus dari Desa Kuto Rayo, Tabir. Rumah bertiang ini masih kokoh meski tiang-tiang dan kerangkanya dari kayu kulim, yang sangat keras dagingnya itu, sudah berusia 600 tahun.

Menurut pemiliknya, rumah ini dulunya dibangun atas hasil kesepakatan dan gotong royong dari semua anggota keluarga besar. "Ada 19 keluarga pelarian dari Kuto Rayo yang bersama- sama membangun rumah ini. Setelah jadi satu rumah, mereka bersama-sama membangun rumah keluarga yang lain. Begitu seterusnya sampai tuntas dibangun 19 rumah," paparnya.

Kesepakatan para leluhur menetapkan 20 tiang dipancang untuk menegakkan sebuah rumah. Atapnya semula dari daun rumbia, namun kini telah berganti seng. Kolong rumah jadi gudang penyimpanan kayu bakar untuk memasak dan tempat ternak.

Rumah tuo melebar tampak dari muka, dengan tiga jendela besar yang selalu dibuka pemiliknya hingga sore. Begitu cermatnya nenek moyang mereka, sampai-sampai etika diatur melalui penataan jendela.

Etika bertamu diatur oleh hukum adat. Tamu yang bertandang akan masuk ke rumah lewat tangga di sebelah kanan. Untuk tamu yang masih bujang, panggilan anak laki-laki belum menikah yang hendak bertamu, hanya boleh duduk sampai batas jendela paling kanan. Artinya, ia hanya boleh duduk paling dekat pintu masuk dan tidak boleh lebih ke dalam lagi.

Sedangkan yang dapat duduk sedikit lebih dalam, setidaknya sampai ke batas jendela kedua, adalah bujang dari keluarga besar alias punya ikatan keluarga dengan pemilik rumah. Yang dapat masuk ke rumah hingga ke bagian dalamnya adalah kaum pria yang telah menikah dan kaum perempuan.

Bilik melintang pada sisi dalam yang paling kiri adalah wilayah khusus bagi tetua kampung atau tamu kehormatan. Panjang bilik sekitar empat meter. Pada acara-acara rembuk warga, mereka yang duduk dalam bilik melintang akan dapat melihat seluruh tamu, atau tamu-tamu yang baru akan masuk rumah melalui tangga.

Satu Bilik

Rumah adat Jambi hanya memiliki satu bilik sebagai ruang tidur. Ini dimaksudkan ada kebersamaan, termasuk saat beristirahat, juga dalam satu ruang. Namun, sebagian besar masyarakat di sana lebih memilih tidur bersama di ruang tamu karena tempatnya lebih luas.

Rumah tuo dibangun tidak hanya sebagai tempat hunian, tetapi juga sebagai jaminan akan keberlangsungan hidup keluarga dan keturunannya. Terdapat lumbung-lumbung padi pada bagian belakang rumah. Satu keluarga bisa memiliki dua hingga tiga lumbung yang menyimpan berton-ton gabah hasil panen, dan tahan selama puluhan tahun. Selama itu masyarakat setempat tak pernah kekurangan pangan.

Sejumlah peralatan tradisional juga masih ditemukan di sana. Ada ambung terbuat dari anyaman rotan, dipakai untuk mengangkut hasil tanaman, selalu dipanggul di belakang punggung. Makanan dinikmati bersama dari tapan, bakul nasi yang juga dari hasil anyaman. Sedangkan peralatan dari kayu-kayuan adalah lesung, dan wadah penerangan yang biasa mereka sebut lampu Aladin.

Menurut Rio Kasim, pemangku adat setempat, rumah-rumah tersebut dibangun oleh para eksodan warga Melayu Kuno yang sebelumnya menempati kampung lain di kecamatan yang sama. Tujuannya mencari tempat aman.

Permukiman ini kemudian semakin berkembang. Namun, dalam perkembangannya, masyarakat tetap menjaga kelestarian rumah adat. Warga yang hendak membangun rumah baru juga mengacu kepada arsitektur adat setempat. Hanya saja kayu yang digunakan tidak lagi kayu kulim karena sudah semakin langka.

Meski terkesan tidak jauh berbeda dari arsitektur rumah adat Minang, ciri khas rumah adat Jambi dapat ditemukan pada sudut atapnya yang dipasang tanduk kambing, yaitu kayu bersilang menghadap ke dalam. Tanda ini menandakan rumah tersebut memiliki nini mamak sebagai pengayom.

Umar Amra mengungkapkan, tak ada keinginan dari dirinya untuk mengubah wujud rumah, kecuali mengganti atapnya menjadi seng, sekadar alasan kepraktisan. "Kalau atap dari rumbia harus diganti terus tiap dua atau tiga tahun sekali. Seng lebih awet," tuturnya.

Ia mengaku bangga dengan rumah yang dimilikinya. Rumah yang masih kokoh ditempati bersama istri dan anak-anaknya tersebut kini sering menjadi tempat studi kalangan mahasiswa, peneliti, atau pejabat daerah yang ingin mengenal lebih jauh tentang rumah adat Jambi.

Setiap kali memasuki permukiman rumah tua itu, kita seakan kembali ke masa lalu. Keklasikan rumah-rumah yang saling berderet, lengkap dengan cara hidup dan tradisi masyarakatnya, sungguh memberi kesempurnaan akan gambaran adat Jambi. Di sinilah identitas Jambi kami dapatkan.

Sumber:
- fuad-rumahadatjambi-fuad.blogspot.com (artikel)
- bappedamerangin.net (Photo)

RUMAH ADAT TORAJA

Blog Widget by LinkWithin

Rumah Adat Toraja






1 Vote

rumah-adat-toraja

Tongkonan

Rumah Adat Toraja biasa disebut Baruang Tongkonan, tongkonan sendiri mempunyai arti tongkon “duduk“, tempat “an” bisa dikatakan tempat duduk, tetapi bukan tempat duduk arti yang sebenarnya melainkan, tempat orang di desa untuk berkumpul, bermusyawarah, dan menyelesaikan masalah-masalah adat.

Hampir semua rumah orang Toraja menghadap ke arah utara, menghadap ke arah Puang Matua sebetuan orang toraja bagi tuhan yang maha esa. Selain itu untuk menghormati leluhur mereka dan dipercaya akan mendapatkan keberkahan di dunia ini.

Daerah Tana Toraja umumnya merupakan tanah pegunungan kapur dan batu alam dengan ladang dan hutan yang masih luas, dilembahnya terdapat hamparan persawahan.

Tongkonan sendiri bentuknya adalah rumah panggung yang dibangun dari kombinasi batang kayu dan lembaran papan. Kalau diamati, denahnya berbentuk persegi panjang mengikuti bentuk praktis dari material kayu. Material kayu dari kayu uru, sejenis kayu lokal yang berasal dari Sulawesi. Kualltas kayunya cukup baik dan banyak ditemui di hutan-hutan di daerah Toraja. Kayu di biarkan asli tanpa di pelitur atau pernis.

rumah adat toraja

rumah adat toraja

Rumah Toraja / Tongkonan ini dibagi menjadi 3 bagian: yang pertama kolong (Sulluk Banua), kedua ruangan rumah (Kale Banua) dan ketiga atap (Ratiang Banua).

Pada bagian atap, bentuknya melengkung mirip tanduk kerbau. Di sisi barat dan timur bangunan terdapat jendela kecil, tempat masuknya sinar matahari dan aliran angin.

Menilik Latar belakang arsitektur rumah tradisional Toraja menyangkut falsafah kehidupan yang merupakan landasan dari kebudayaan orang Toraja itu sendiri.

Dalam pembangunan rumah adat Tongkonan ada hal-hal yang mengikat atau hal yang di haruskan dan tidak boleh di langgar, yaitu:
Rumah harus menghadap ke utara, letak pintu di bagian depan rumah, dengan keyakinan bumi dan langit merupakan satu kesatuan dan bumi dibagi dalam 4 penjuru mata angin, yaitu:

Utara disebut Ulunna langi, yang paling mulia di mana Puang Matua berada (keyakinan masyarakat Toraja).
Timur disebut Matallo, tempat metahari terbit, tempat asalnya kebahagiaan atau kehidupan.
Barat disebut Matampu, tempat metahari terbenam, lawan dari kebahagiaan atau kehidupan, yaitu kesusahan atau kematian.
Selatan disebut Pollo’na langi, sebagai lawan bagian yang mulia, tempat melepas segala sesuatu yang tidak baik / angkara murka.

Pembangunan rumah tradisional Toraja biasanya dilakukan secara gotong royong. Rumah Adat Toraja di bedakan menjadi 4 macam:

Tongkonan Layuk, rumah adat tempat membuat peraturan dan penyebaran aturan-aturan.
Tongkonan Pakamberan atau Pakaindoran, rumah adat tempat melaksanakan aturan-aturan. Biasanya dalam satu daerah terdapat beberapa tongkonan, yang semuanya bertanggung jawab pada Tongkonan Layuk.
Tongkonan Batu A’riri, rumah adat yang tidak mempunyai peranan dan fungsi adat, hanya sebagai tempat pusat pertalian keluarga.
Barung-barung, merupakan rumah pribadi. Setelah beberapa turunan (diwariskan), kemudian disebut Tongkonan Batu A’riri.

Bangsawan Toraja yang memiliki Tongkonan umumnya berbeda dengan Tongkonan dari orang biasanya. Perbedaan ini bisa kita lihat pada bagian rumah terdapat tanduk kerbau yang disusun rapi menjulang ke atas, semakin tinggi atau banyak susunan tanduk kerbau tersebut semakin menukjukkan tinggi dan penting status sosial si pemilik rumah.

Kenapa harus tanduk Kerbau? bagi orang Toraja, kerbau selain sebagai hewan ternak mereka juga menjadi lambang kemakmuran dan status. Nah oleh sebab itu kenapa tanduk atau tengkorak kepala kerbau di pajang dan disimpan di bagian rumah karena sebagai tanda bawasannya keberhasilan si pemilik rumah mengadakan sebuah upacara / pesta.

RUMAH ADAT PENGOTAN

Blog Widget by LinkWithin

home Home
Jurnal Petualang
Rumah Adat Pengotan, Bali

30 November
Rumah Adat Pengotan, Bali
oleh: Dwi Rahayu Handayani - Jawa 3
Rumah adat Pengotan
fb7 Share FB tw24 Retweet tw0 Komentar
Foto Selengkapnya
Rumah adat Pengotan Pintu masuk ke dalam rumah adat Pengotan (gapura) Tempat menampung air hujan Desa Pengotan

Desa Pengotan adalah salah satu desa tua di Bali tepatnya di kabupaten Bangli yang masih mempertahankan struktur bangunan dan budayanya dari dulu sampai sekarang. Perbedaan yang terlihat disini adalah struktur tempat tinggalnya. Rumah adat Pengotan mempunyai model yang disebut dengan jajar wayang (kekiri-kekanan)

Awal kami memasuki rumah adat pengotan, kami melihat Tembok penyengker (seperti saung) yang ukurannya di ukur dari 1 depah/panjang tangan orang tertua di rumah itu. Masuk lagi kedalam ada pekarangan rumah yang mempunyai 3 segmen; tempat suci, aktifitas keluarga dan halaman. istilah di bali sering di sebut Tri Hita Karana. Rumah adat Pengotan tetap memegang teguh aturan kosala-kosali (aturan letak bangunan). Setiap pekarangan rumah, memiliki bale daja (bangunan yang terletak di utara), bale dauh (di barat), dan bale delod (di selatan)

Bahan dasar dari rumah adat pengotan adalah bambu, mengikuti perkembangan bahan dasarnya ada yang berubah, tapi masih mempertahankan ke aslian rumah adat tersebut.

Didalam rumah adat terdapat 3 area dalam satu ruangan yaitu tempat suci yang fungsinya untuk beribadah di sebelah kanan, di tengan ada seperti dapur kecil dan selebah kiri terdapat tempat tidur. sedangkan di atas atap rumah terdapat tempat penyimpanan padi dan jangung untuk stok jangka panjang.

Sedangkan di halaman depannya terdapat lahan yang luas untuk pertanian dan peternakan, disini kebnyakan memelihara babi, sapi, ayam dan bebek. sedangkan dalam bidang pertaniannya menanam kubis, bayam, jangung, mentimun dan labu. semuanya di kerjakan sendiri dari mulai pembibitan, penanaman, pemeliharan dan panen hingga penjualannya.
aci.detik.travel/read/2011/11/30/.../rumah-adat-pengotan-bali

RUMAHA ADAT JAWA BARAT

Blog Widget by LinkWithin

Rumah Adat Jawa Barat

Neraca. Rumah sudah menjadi kebutuhan yang penting bagi manusia. Selain tempat berteduh, rumah pun dijadikan tempat bersosialisasi seluruh anggota keluarga. Selain menjadi bagian terpenting bagi kehidupan, bentuk dan gaya pun sengaja dibuat untuk menambah keindahan. Bahkan dijadikan identitas suatu suku atau komunitas di suatu tempat.

Khusus di tanah Parahyangan, rumah adat biasanya dibangun di atas tanah sekitar 40-60 cm dengan menggunakan batu. Biasanya dilengkapi golodog berupa tangga dan teras depan. Sedangkan bentuk atap atau suhunan sangat bergantung letak geografis di mana rumah itu dibangun.

Bentuk suhunan rumah Sunda sangat disesuaikan dengan keadaan alam serta kebutuhan masyarakat urang Sunda. Di tanah Parahyangan banyak bentuk gaya rumah, yang umumnya diperlihatkan dari bentuk atapnya (suhunan atau hateup). Ada beberapa susuhunan yang dikenal masyarakat Sunda, seperti suhunan jolopong atau regol, suhunan tago/jogog anjing, suhunan badak heuay, suhunan perahu kumureb/nangkub, suhunan capit gunting, suhunan julang ngapak, suhunan buka palayu, dan buka pongpok.

Suhunan jolopong (pelana), merupakan bentuk rumah yang atapnya memanjang. Atap rumah jolopong ini biasa juga disebut suhunan panjang, gagajahan, dan regol. Sedangkan atap rumah jogog atau tagog anjing, bentuknya seperti anjing yang sedang duduk. Bagian depan mirip mulut anjing, menjulur menutupi teras rumah (ngiuhan emper imah). Atap rumah bentuk badak heuay, biasanya bentuk atapnya mirip bentuk atap rumah tagog anjing, tapi di bagian atas suhunan-nya ada tambahan atau atap belakang dan depan yang menyerupai badak menguap.

Atap rumah parahu kumureb/nangkub, yakni potongan bentuk atap yang mirip perahu terbalik (lihat gunung tangkubanperahu). Di daerah Tomo, Kab. Sumedang, bentuk rumah seperti ini disebut juga jubleg nangkub. Sedangkan atap rumah bentuk capit gunting, yakni atap rumah yang setiap ujungnya dihiasi kayu mirip gunting yang siap nyapit. Bentuk ini sering juga disebut srigunting. Sementara atap julang ngapak, dilihat dari depan, suhunan kiri kanannya mirip sayap burung yang terentang. Sedangkan julang-suhunanna sebanyak empat penjuru menyambung dari sisi turun ke bawah. Sambungan bagian tengah menggunakan tambahan mirip gunting muka di bagian puncaknya. Julang ngapak bentuknya mirip burung yang sedang terbang.

Atap rumah bentuk buka palayu, yakni atap rumah yang suhunan-nya mirip suhunan rumah adat Betawi dan di bagian depannya ada teras yang panjang. Sedangkan buka pongpok, bentuknya mirip buka palayu, namun bagian pintunya diubah dan diarahkan langsung ke bagian jalan.

www.neraca.co.id/2011/10/10/rumah-adat-jawa-barat/

SENI TARI JANGER

Blog Widget by LinkWithin

Tari Janger, Tari Pergaulan Muda Mudi


Tari Janger, tari pergaulan muda mudi yang diperagakan oleh beberapa orang berpasangan

Tari Janger, tari pergaulan muda mudi yang diperagakan oleh beberapa orang berpasangan

Siapa yang tidak mengenal Tari Janger? Begitu kata itu diungkapkan, orang pasti sudah terasosiasi dengan Bali. Janger merupakan salah satu tarian Indonesia pada umumnya dan Bali pada khususnya yang sudah sangat terkenal baik di negeri sendiri ataupun di manca negara. Kapan dan dimana tepatnya muncul Janger ini belum ada yang tahu persis karena diperkirakan usianya sudah ratusan tahun dan kelompok-kelompok yang melakukan pertunjukan ini tersebar dibeberapa wilayah Bali Selatan.

Janger sendiri diperagakan oleh beberapa orang berpasangan. Para wanita dan pria ini akan menari dan bernyanyi bergantian. Tari ini lebih menunjukkan kisah pasangan yang sedang dimabuk cinta dan berupaya saling merajuk satu sama lain. Tarian Janger termasuk tari pergaulan yang dipertontonkan saat tertentu sebagai suatu hiburan. Gerakan-gerakan tariannya merupakan gerakan dasar yang ada dalam tari Bali sendiri tidak yang susah atau paling sulit dilakukan. Musik yang mengiringi yaitu tetamburan yang dilengkapi dengan gender wayang.

Dalam perkembangannya saat ini, Janger sudah banyak ditinggalkan oleh para muda-mudi Bali. Hanya ada beberapa kelompok Janger yang tersisa. Untuk daerah Denpasar, kelompok yang terkenal yaitu Janger Kedaton yang terletak di wilayah Denpasar Timur (Kesiman). UNtuk daerah Badung, kelompok ini bisa ditemukan di Desa Sibang yang biasanya dikenal dengan nama Janger Gong. Daerah Gianyar terdapat di Desa Pliatan. Salah satu yang sangat unik adalah kelompok Janger yang terdapat di Desa Bulian Buleleng. Karena hamper sebagian besar penduduknya adalah Tuna Wicara dan para pemain Janger ini pun adalah mereka yang memiliki kekurangan tersebut. Mereka biasanya dibantu oleh salah satu pelatih/penuntun yang memberikan aba2 untuk melakukan gerakan-gerakan tertentu. Rasa simpatik tentunya diberikan oleh mereka yang salut dan kagum akan usaha yang dilakukan oleh para penari tersebut untuk berupaya memberikan suatu penghiburan bagi masyarakat. Dibalik kekurangan yang mereka miliki, mereka bisa menunjukkan bahwa seberapapun usaha yang dilakukan akan mampu menutupi kekurangan yang ada.

www.tanah-bali.com/seni-dan-budaya-tari-janger-tari-pergaulan-mud...

SENI TARI CENDRAWASIH

Blog Widget by LinkWithin

Tarian Tradisional


Tari Cendrawasih


Tari Cendrawasih merupakan tari duet yang ditarikan oleh penari putri, kendatipun dasar pijakannya adalah gerak tari tradisi Bali, beberapa pose dan gerakannya dari tarian ini telah dikembangkan sesuai dengan interpretasi penata dalam menemukan bentuk - bentuk baru sesuai dengan tema tarian ini. Busana ditata sedemikian rupa agar dapat memperkuat dan memperjelas desain gerak yang diciptakan.

Tarian ini di ciptakan oleh N.L.N. Swasthi Wijaya Bandem (yang juga sebagai penata busana dari pada tarian ini) dalam rangka mengikuti Festival Yayasan Walter Spies. penata tabuh pengiring adalah I Wayan Beratha dan I Nyoman Widha pada tahun 1988

SENI TARI CAKALELE

Blog Widget by LinkWithin

TARIAN CAKALELE

Cakalele merupakan tarian tradisional khas Maluku. Tari Cakalele dimainkan oleh sekitar 30 laki-laki dan perempuan. Para penari laki-laki mengenakan pakaian perang yang didominasi oleh warna merah dan kuning tua. Di kedua tangan penari menggenggam senjata pedang (parang) di sisi kanan dan tameng (salawaku) di sisi kiri, mengenakan topi terbuat dari alumunium yang diselipkan bulu ayam berwarna putih. Sedangkan penari perempuan mengenakan pakaian warna putih sembari menggenggam sapu tangan (lenso) di kedua tangannya.

Dalam tarian Cakalele ini, para penari melakukan tarian yang diiringi dengan musik tifa, suling, musik beduk (tambur) dan kerang besar(bia) yang ditiup. Tari Cakalele disebut juga dengan tari kebesaran, karena digunakan untuk penyambutan para tamu agung seperti tokoh agama dan pejabat pemerintah yang berkunjung ke bumi Maluku.

Keistimewaan tarian ini terletak pada tiga fungsi simbolnya, yaitu:
a. Pakaian berwarna merah pada kostum penari laki-laki, menyimbolkan rasa heroisme terhadap bumi Maluku, serta keberanian dan patriotisme orang Maluku ketika menghadapi perang.
b. Pedang pada tangan kanan menyimbolkan harga diri warga Maluku yang harus dipertahankan hingga titik darah penghabisan.
c. Tameng (salawaku) dan teriakan lantang menggelegar pada selingan tarian menyimbolkan gerakan protes terhadap sistem pemerintahan yang dianggap tidak memihak kepada masyarakat.