Recent post berjalan

UPACARA ADAT PUKUL SAPU

Blog Widget by LinkWithin

Wisata Budaya Upacara Adat Pukul Sapu

Berbagai acara  ditaja oleh umat Islam di Nusantara untuk memeriahkan Hari Raya Idul Fitri setelah  sebulan lamanya menunaikan ibadah puasa pada bulan suci Ramadhan. Salah satu di  antaranya adalah upacara adat Pukul Sapu yang digelar oleh masyarakat yang  bermastautin di Desa Morella dan Desa Mamala yang masuk dalam wilayah administratif  Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi  Maluku. Baku Pukul Manyapu dan Pukul Manyapu adalah nama lain bagi upacara  adat ini.pukul-sapu
Upacara adat yang tergolong ekstrem ini digelar setiap  tanggal 7 Syawal menurut perhitungan kalender Hijriah/kalender Islam, atau pada  hari ke tujuh setelah Hari Raya Idul Fitri. Biasanya, peserta upacara adalah pemuda  dari dua desa adat yang bertetangga tersebut. Namun, bila ada peserta dari  daerah lain yang ingin berpartisipasi, bisa mendaftarkan diri kepada panitia  tiga hari sebelum upacara dilaksanakan. Sekalipun Pukul Sapu adalah tradisi umat  Islam Maluku, namun upacara ini juga dihadiri dan melibatkan umat Kristen di  daerah tersebut, terutama mereka yang memiliki ikatan kekerabatan (pela) dengan  masyarakat dua desa adat ini, seperti masyarakat Desa Lateri yang memiliki  ikatan kekerabatan dengan Desa Mamala dan Desa Waai yang mempunyai hubungan  kekeluargaan dengan Desa Morella. Bahkan, terkadang upacara yang dihelat pada  “lebaran hari ke tujuh” ini juga diikuti oleh keturunan Maluku yang sudah  menjadi warga negara Belanda.
Konon, menurut kompas.com, upacara adat Pukul Sapu merujuk pada perjuangan  Achmad Leakawa, atau yang lebih populer dengan nama Kapitan/Pimpinan Perang  Telukabessy beserta anak buahnya, ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang  Kapahala (1643-1646 M). Perang ini dipantik oleh pendirian markas VOC (kongsi  dagang Belanda) di Teluk Sewatelu, Ambon, pada tahun 1636 M. Perang semakin tak  terelakkan ketika tentara Belanda hendak merebut Benteng Kapahala, benteng  milik warga Maluku, dengan cara mengepungnya dari berbagai penjuru. Dalam  perang ini, para pejuang terdesak akibat serangan dari darat yang didukung tembakan  meriam dari kapal-kapal VOC dari laut. Karena tidak berimbang, akhirnya benteng  yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Morella dan Mamala tersebut dapat  dikuasai oleh Belanda.
Pada perang itu,  Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun, anak buahnya banyak yang  berhasil ditangkap tentara Belanda. Sebagian dari mereka kemudian dijadikan  tawanan di Teluk Sewatelu dan sebagiannya lagi dibuang ke Batavia,  atau Jakarta sekarang. Meskipun berhasil meloloskan diri, Kapitan Telukabessy tetap dihadapkan  pada situasi sulit, yaitu antara menyerahkan diri atau anak buahnya dibunuh  kompeni. Akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih menyerahkan diri pada Komandan  Verheijden pada tanggal 19 Agustus 1646. Oleh Gubernur Gerard Demmer, Kapitan  Telukabessy dijatuhi hukuman gantung di Benteng Victoria, Ambon,  pada tanggal 27 September 1646.
Pada tanggal 27  Oktober 1646, setelah ditawan selama tiga bulan di Teluk Sewatelu, anak buah  Kapitan Telukabessy tersebut dibebaskan Belanda. Sebelum berpisah dan kembali  ke daerah asal masing-masing, mereka menggelar acara perpisahan yang terbilang  heroik, dengan menampilkan aneka tari adat, menyanyikan lagu-lagu daerah, dan  acara pukul sapu. Tujuan acara pukul sapu adalah agar tetesan darah dari tubuh  mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat mengingatkan mereka untuk berkumpul  kembali di tempat tersebut suatu saat nanti.

Ekstrem, atraktif,  dan menghibur. Kira-kira demikianlah kesan para pengunjung ketika menyaksikan  upacara adat Pukul Sapu yang dihelat di daerah yang dijuluki dengan Negeri  Seribu Bukit ini. Karena, setiap peserta upacara yang rutin dihelat saban tahun  ini akan mencambuk peserta lain yang berada di hadapannya secara bergantian  dengan menggunakan lidi dari pohon enau (arenga pinnata), yang dalam bahasa  Maluku disebut dengan pohon mayang. Lidi enau yang digunakan untuk mencambuk  peserta upacara memiliki panjang 1,5—2 meter dengan diameter pangkalnya  mencapai 1—3 sentimeter.
Sekalipun upacara  adat yang diwariskan secara turun-temurun ini dihelat pada tanggal 7 Syawal,  namun kesibukan sudah terlihat di dua desa adat tersebut beberapa hari sebelum  pelaksanaan upacara. Sebab, berbagai hal harus dipersiapkan panitia untuk  menunjang kelancaran dan kemeriahan upacara, seperti podium, tenda para  undangan, arena upacara, stand pameran, warung-warung pedagang, umbul-umbul, dan  lain sebagainya.
Sebelum acara  puncak Pukul Sapu berlangsung, terlebih dahulu digelar berbagai kegiatan,  seperti hadrat (rebana), karnaval budaya, pameran dan festival, balap perahu,  penampilan band lokal, dan bahkan penampilan artis ibukota keturunan Maluku.  Selain itu, juga ditampilkan aneka tari dari daerah tersebut, seperti tari putri,  tari mahina, tari perang, hingga pertunjukan musik yang dibawakan oleh  masyarakat dari negeri pela yang beragama Kristen.
Sementara itu,  meskipun pelaksanaan upacara baru dimulai setelah shalat Ashar, para wisatawan  baik domestik maupun mancanegara telah berbondong-bondong datang ke dua desa  tersebut sejak pagi hari. Bahkan, ada yang tiba di sana 1—2 hari sebelum upacara dimulai. Hal  ini dimaksudkan supaya mereka dapat menyaksikan secara langsung tahapan-tahapan  persiapan upacara, seperti melihat latihan para peserta upacara, meraut lidi  enau, dan proses pembuatan minyak Mamala yang kesohor dengan khasiatnya itu. Konon,  minyak yang dibuat pada malam 7 Syawal ini hanya boleh dilakukan oleh keturunan  Imam Tuni, tokoh agama Desa Mamala yang menjadi salah satu pendiri Masjid  Al-Muttaqien.
Sebelum upacara  dimulai, para peserta terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat untuk  mendapatkan doa dari para tetua adat. Hal ini dilakukan dengan harapan agar prosesi  upacara berjalan dengan lancar dan seluruh peserta diberi keselamatan oleh  Allah SWT. Sebelum memasuki arena upacara, mereka terlebih dahulu berlari-lari kecil  mengelilingi kampung. Di Desa Mamala, upacara Pukul Sapu diawali dengan mencambukkan  lidi enau ke tubuh peserta upacara oleh pejabat daerah setempat. Sedangkan di  Desa Morella, pembukaan upacara ditandai dengan penyulutan obor Kapitan  Telukabessy oleh pejabat atau pemuka masyarakat setempat.
Selepas acara pembukaan,  upacara adat Pukul Sapu pun dimulai dengan diiringi tepuk tangan dan  sorak-sorai dari para penonton. Para peserta  yang hanya menggunakan celana pendek, ikat kepala, dan bertelanjang dada ini dibagi  ke dalam dua kelompok dan berdiri berhadap-hadapan. Kedua kelompok tersebut  secara bergantian akan menyabetkan lidi enau yang berada di genggaman  masing-masing ke pinggang, dada, dan punggung peserta di hadapannya sampai  lebam dan berdarah-darah. Untuk mengatur pergantian kelompok yang dicambuk dan kelompok  yang menyambuk, para peserta mengikuti aba-aba dari koordinator upacara atau mengikuti  alunan gendang. Pergantian juga bisa dilakukan bila peserta yang dicambuk telah  terdesak hingga mendekati tempat penonton di pinggir lapangan.
Uniknya, meskipun  sekujur tubuh peserta upacara memar-memar dan mengeluarkan darah, namun tak  terlihat pada mereka ringis kesakitan atau rintihan mengaduh. Di samping itu,  bercak sabetan dan goresan darah akibat cambukan lidi enau dapat disembuhkan  dengan cepat tanpa meninggalkan bekas. Di Desa Morella, luka-luka akibat  cambukan diobati dengan ramuan dari daun jarak yang terkenal berkhasiat  menyembuhkan luka. Sementara di Desa Mamala, luka-luka peserta upacara diobati  dengan mengoleskan minyak kelapa yang telah didoakan oleh para tetua adat kepada  bagian tubuh yang luka. Minyak kelapa yang dapat mengobati luka dengan cepat tersebut  dinamakan minyak Mamala atau minyak Tasala. Konon, khasiat minyak ini telah  kesohor ke mana-mana, sehingga menarik minat para ilmuan dari dalam dan luar  negeri untuk menelitinya.
Setelah upacara  adat Pukul Sapu usai, hal lain yang menarik dan membuat wisatawan terhibur  adalah ketika para penonton berlomba-lomba memperebutkan lidi-lidi enau dan  minyak kelapa bekas peserta upacara. Hal ini dikarenakan lidi-lidi atau minyak  tersebut diyakini membawa keberuntungan. Selain untuk memperoleh keberuntungan,  sebagian masyarakat menganggap kedua benda tersebut sekadar kenang-kenangan  mengikuti upacara adat Pukul Sapu yang dihelat sekali dalam setahun itu

www.wisatamelayu.com


About The Author:

Penulis: M.Joko Lukito
Mari budayakan berkomentar baik berupa Kritik, Saran, maupun Pertanyaan untuk menjadikan blog ini lebih baik ke depannya. Copy-Paste artikel M.Joko Lukito Di ijinkan, tapi URL sumbernya disertakan.
Terima Kasih.. Follow me on Twitter Di Sini Add me on Facebook Di Sini.

0 komentar:

mengatakan...

UPACARA ADAT PUKUL SAPU

Blog Widget by LinkWithin

Wisata Budaya Upacara Adat Pukul Sapu

Berbagai acara  ditaja oleh umat Islam di Nusantara untuk memeriahkan Hari Raya Idul Fitri setelah  sebulan lamanya menunaikan ibadah puasa pada bulan suci Ramadhan. Salah satu di  antaranya adalah upacara adat Pukul Sapu yang digelar oleh masyarakat yang  bermastautin di Desa Morella dan Desa Mamala yang masuk dalam wilayah administratif  Kecamatan Leihitu, Kabupaten Maluku Tengah, Provinsi  Maluku. Baku Pukul Manyapu dan Pukul Manyapu adalah nama lain bagi upacara  adat ini.pukul-sapu
Upacara adat yang tergolong ekstrem ini digelar setiap  tanggal 7 Syawal menurut perhitungan kalender Hijriah/kalender Islam, atau pada  hari ke tujuh setelah Hari Raya Idul Fitri. Biasanya, peserta upacara adalah pemuda  dari dua desa adat yang bertetangga tersebut. Namun, bila ada peserta dari  daerah lain yang ingin berpartisipasi, bisa mendaftarkan diri kepada panitia  tiga hari sebelum upacara dilaksanakan. Sekalipun Pukul Sapu adalah tradisi umat  Islam Maluku, namun upacara ini juga dihadiri dan melibatkan umat Kristen di  daerah tersebut, terutama mereka yang memiliki ikatan kekerabatan (pela) dengan  masyarakat dua desa adat ini, seperti masyarakat Desa Lateri yang memiliki  ikatan kekerabatan dengan Desa Mamala dan Desa Waai yang mempunyai hubungan  kekeluargaan dengan Desa Morella. Bahkan, terkadang upacara yang dihelat pada  “lebaran hari ke tujuh” ini juga diikuti oleh keturunan Maluku yang sudah  menjadi warga negara Belanda.
Konon, menurut kompas.com, upacara adat Pukul Sapu merujuk pada perjuangan  Achmad Leakawa, atau yang lebih populer dengan nama Kapitan/Pimpinan Perang  Telukabessy beserta anak buahnya, ketika menghadapi tentara Belanda dalam Perang  Kapahala (1643-1646 M). Perang ini dipantik oleh pendirian markas VOC (kongsi  dagang Belanda) di Teluk Sewatelu, Ambon, pada tahun 1636 M. Perang semakin tak  terelakkan ketika tentara Belanda hendak merebut Benteng Kapahala, benteng  milik warga Maluku, dengan cara mengepungnya dari berbagai penjuru. Dalam  perang ini, para pejuang terdesak akibat serangan dari darat yang didukung tembakan  meriam dari kapal-kapal VOC dari laut. Karena tidak berimbang, akhirnya benteng  yang berjarak sekitar tiga kilometer dari Desa Morella dan Mamala tersebut dapat  dikuasai oleh Belanda.
Pada perang itu,  Kapitan Telukabessy dapat meloloskan diri. Namun, anak buahnya banyak yang  berhasil ditangkap tentara Belanda. Sebagian dari mereka kemudian dijadikan  tawanan di Teluk Sewatelu dan sebagiannya lagi dibuang ke Batavia,  atau Jakarta sekarang. Meskipun berhasil meloloskan diri, Kapitan Telukabessy tetap dihadapkan  pada situasi sulit, yaitu antara menyerahkan diri atau anak buahnya dibunuh  kompeni. Akhirnya, Kapitan Telukabessy memilih menyerahkan diri pada Komandan  Verheijden pada tanggal 19 Agustus 1646. Oleh Gubernur Gerard Demmer, Kapitan  Telukabessy dijatuhi hukuman gantung di Benteng Victoria, Ambon,  pada tanggal 27 September 1646.
Pada tanggal 27  Oktober 1646, setelah ditawan selama tiga bulan di Teluk Sewatelu, anak buah  Kapitan Telukabessy tersebut dibebaskan Belanda. Sebelum berpisah dan kembali  ke daerah asal masing-masing, mereka menggelar acara perpisahan yang terbilang  heroik, dengan menampilkan aneka tari adat, menyanyikan lagu-lagu daerah, dan  acara pukul sapu. Tujuan acara pukul sapu adalah agar tetesan darah dari tubuh  mereka yang jatuh dan meresap ke tanah dapat mengingatkan mereka untuk berkumpul  kembali di tempat tersebut suatu saat nanti.

Ekstrem, atraktif,  dan menghibur. Kira-kira demikianlah kesan para pengunjung ketika menyaksikan  upacara adat Pukul Sapu yang dihelat di daerah yang dijuluki dengan Negeri  Seribu Bukit ini. Karena, setiap peserta upacara yang rutin dihelat saban tahun  ini akan mencambuk peserta lain yang berada di hadapannya secara bergantian  dengan menggunakan lidi dari pohon enau (arenga pinnata), yang dalam bahasa  Maluku disebut dengan pohon mayang. Lidi enau yang digunakan untuk mencambuk  peserta upacara memiliki panjang 1,5—2 meter dengan diameter pangkalnya  mencapai 1—3 sentimeter.
Sekalipun upacara  adat yang diwariskan secara turun-temurun ini dihelat pada tanggal 7 Syawal,  namun kesibukan sudah terlihat di dua desa adat tersebut beberapa hari sebelum  pelaksanaan upacara. Sebab, berbagai hal harus dipersiapkan panitia untuk  menunjang kelancaran dan kemeriahan upacara, seperti podium, tenda para  undangan, arena upacara, stand pameran, warung-warung pedagang, umbul-umbul, dan  lain sebagainya.
Sebelum acara  puncak Pukul Sapu berlangsung, terlebih dahulu digelar berbagai kegiatan,  seperti hadrat (rebana), karnaval budaya, pameran dan festival, balap perahu,  penampilan band lokal, dan bahkan penampilan artis ibukota keturunan Maluku.  Selain itu, juga ditampilkan aneka tari dari daerah tersebut, seperti tari putri,  tari mahina, tari perang, hingga pertunjukan musik yang dibawakan oleh  masyarakat dari negeri pela yang beragama Kristen.
Sementara itu,  meskipun pelaksanaan upacara baru dimulai setelah shalat Ashar, para wisatawan  baik domestik maupun mancanegara telah berbondong-bondong datang ke dua desa  tersebut sejak pagi hari. Bahkan, ada yang tiba di sana 1—2 hari sebelum upacara dimulai. Hal  ini dimaksudkan supaya mereka dapat menyaksikan secara langsung tahapan-tahapan  persiapan upacara, seperti melihat latihan para peserta upacara, meraut lidi  enau, dan proses pembuatan minyak Mamala yang kesohor dengan khasiatnya itu. Konon,  minyak yang dibuat pada malam 7 Syawal ini hanya boleh dilakukan oleh keturunan  Imam Tuni, tokoh agama Desa Mamala yang menjadi salah satu pendiri Masjid  Al-Muttaqien.
Sebelum upacara  dimulai, para peserta terlebih dahulu dikumpulkan di suatu tempat untuk  mendapatkan doa dari para tetua adat. Hal ini dilakukan dengan harapan agar prosesi  upacara berjalan dengan lancar dan seluruh peserta diberi keselamatan oleh  Allah SWT. Sebelum memasuki arena upacara, mereka terlebih dahulu berlari-lari kecil  mengelilingi kampung. Di Desa Mamala, upacara Pukul Sapu diawali dengan mencambukkan  lidi enau ke tubuh peserta upacara oleh pejabat daerah setempat. Sedangkan di  Desa Morella, pembukaan upacara ditandai dengan penyulutan obor Kapitan  Telukabessy oleh pejabat atau pemuka masyarakat setempat.
Selepas acara pembukaan,  upacara adat Pukul Sapu pun dimulai dengan diiringi tepuk tangan dan  sorak-sorai dari para penonton. Para peserta  yang hanya menggunakan celana pendek, ikat kepala, dan bertelanjang dada ini dibagi  ke dalam dua kelompok dan berdiri berhadap-hadapan. Kedua kelompok tersebut  secara bergantian akan menyabetkan lidi enau yang berada di genggaman  masing-masing ke pinggang, dada, dan punggung peserta di hadapannya sampai  lebam dan berdarah-darah. Untuk mengatur pergantian kelompok yang dicambuk dan kelompok  yang menyambuk, para peserta mengikuti aba-aba dari koordinator upacara atau mengikuti  alunan gendang. Pergantian juga bisa dilakukan bila peserta yang dicambuk telah  terdesak hingga mendekati tempat penonton di pinggir lapangan.
Uniknya, meskipun  sekujur tubuh peserta upacara memar-memar dan mengeluarkan darah, namun tak  terlihat pada mereka ringis kesakitan atau rintihan mengaduh. Di samping itu,  bercak sabetan dan goresan darah akibat cambukan lidi enau dapat disembuhkan  dengan cepat tanpa meninggalkan bekas. Di Desa Morella, luka-luka akibat  cambukan diobati dengan ramuan dari daun jarak yang terkenal berkhasiat  menyembuhkan luka. Sementara di Desa Mamala, luka-luka peserta upacara diobati  dengan mengoleskan minyak kelapa yang telah didoakan oleh para tetua adat kepada  bagian tubuh yang luka. Minyak kelapa yang dapat mengobati luka dengan cepat tersebut  dinamakan minyak Mamala atau minyak Tasala. Konon, khasiat minyak ini telah  kesohor ke mana-mana, sehingga menarik minat para ilmuan dari dalam dan luar  negeri untuk menelitinya.
Setelah upacara  adat Pukul Sapu usai, hal lain yang menarik dan membuat wisatawan terhibur  adalah ketika para penonton berlomba-lomba memperebutkan lidi-lidi enau dan  minyak kelapa bekas peserta upacara. Hal ini dikarenakan lidi-lidi atau minyak  tersebut diyakini membawa keberuntungan. Selain untuk memperoleh keberuntungan,  sebagian masyarakat menganggap kedua benda tersebut sekadar kenang-kenangan  mengikuti upacara adat Pukul Sapu yang dihelat sekali dalam setahun itu

www.wisatamelayu.com


About The Author:

Penulis: M.Joko Lukito
Mari budayakan berkomentar baik berupa Kritik, Saran, maupun Pertanyaan untuk menjadikan blog ini lebih baik ke depannya. Copy-Paste artikel M.Joko Lukito Di ijinkan, tapi URL sumbernya disertakan.
Terima Kasih.. Follow me on Twitter Di Sini Add me on Facebook Di Sini.